Sebuah Klise

barangkali,
memang Tiada yang pernah
benar-benar ada setelah senja,
selain kecupan Lembut,
selain maut.

atau kita hanyalah sebuah klise,
nyaris Mendekati paradoks,
seperti senja yang sekejap
pura-pura Bercahaya,
dengan bahagia.

 

D.C

Langit Pulau Dewata

Langit di pulau Dewata, sayup-sayup debur ombak kian meriap di telinga. Selaksa aroma mewangi bunga tidur membius kesadaran, lantas terjaga dengan atap yang biru dan mega berarak-arakan. Biru melahirkan rindu, rindu yang mampu menghalau kelabu, dengan alunan rindik menjadikan hati merah muda nan syahdu.

Langit di pulau Dewata, senja betapa jingga senja membuncah getir di dada. Camar merendahkan kaki di sela riak yang menanjak, lambaian nyiur merengkuh hening yang berayun-ayun di helai rambutku–berdesir kesiur mengusik kalbu. Aku termangu, angin menyiarkan alangkah riangnya burung-burung menari di balik gugusan mega yang mengesumba, hingga melupa pulang melupa segala nestapa, sementara mentari hanya tersisa suam dan telah meringkuk di nadir cakrawala.

Langit di pulau Dewata, kendati bulan tak jua purnama, namun serupa kerinduan, gelombang pasang merambati pasir dan meninggalkan jejak-jejak buih. Muda-mudi hilir mudik, tiada tergurat gelisah, seperti bocah-bocah yang berlari lincah di pematang sawah. Betapa kehangatan gegap gempita malam yang tersimpul di tiap tempat dan sudut-sudut dengan kerlap-kerlip gemintang, bikin hasrat melambung ke rembang. Langit di pulau Dewata, kehangatan akan selalu terpatri, di relung hati mengekalkan mimpi-mimpi. Meski cahaya tenggelam, jumantara meremang dan kian lindap, semesta Dewata tak akan pernah padam.

 

D.C